Latest News

Friday, November 20, 2015

Politik Membatakkan Karo Lewat Sosok Jokowi

Jokowi


Politik Membatakkan Karo Lewat Sosok Jokowi


Beberapa hari yang lalu atau tepatnya pada hari Sabtu, 15 September 2012 begitu banyak sekali media-media online yang memberitakan tentang sosok Jokowi, Calon Gubernur DKI Jakarta yang mendapatkan kehormatan dengan penyematan pakaian adat Uis Beka Buluh, topi untuk pria bagi masyarakat Karo.
Pemberian kehormatan dengan cara penyematan pakaian adat Uis Beka Buluh atau topi untuk pria bagi masyarakat Karo tersebut dilakukan oleh warga Batak di Cililitan, Jakarta Timur. Adapun sebagai kordinator acara tersebut bukanlah orang Karo tetapi orang Batak yang bernama Imran Siburian.
Dalam hal ini disitus jejaring sosial banyak warga Karo yang mempertanyakan pemberian pakaian adat Karo oleh orang Batak kepada Jokowi. Pertanyaan tersebut tidak terlepas dari mengapa Jokowi dikasih Uis Beka Buluh dan bukan Ulos? Sementara seperti yang kita ketahui selama ini pakaian adat Batak adalah Ulos dan bukan Uis Beka Buluh.
Terkait dengah pembicaraan tersebut, maka banyak juga orang Karo yang berpendapat bahwa pemberian Uis Beka Buluh kepada Jokowi oleh masyarakat Batak Toba di Cililitan adalah sebuah sikap politis yang ingin mengatakan kepada dunia bahwa orang Karo itu adalah bagian dari Batak.
“Ini adalah politik orang Batak yang ingin membatakkan orang Karo dengan sosok Jokowi yang lagi populer di Indonesia ini” Ujar salah satu warga Karo dalam status Facebooknya menanggapi berita yang ada di Kompas terkait dengan penyematan pakaian adat Uis Beka Buluh kepada Jokowi oleh orang Batak di Cililitan.
Source : https://karobukanbatak.wordpress.com/2012/09/18/politik-membatakkan-karo-lewat-sosok-jokowi/

Etnis Dalam Suku Batak (Sama Suku, tapi Beda Etnis).



Etnis Dalam Suku Batak (Sama Suku, tapi Beda Etnis).

 Indonesia negara kepulauan dengan berbagai etnis , suku dan agama. dimana kadang perbedaan bisa memunculkan perpecahan. dan karena itulah indonesia terbentuk karena perbedaan. suku yang beragam, perbedaan keyakinan, dan perwatakan yang bermacan - macan. membuat kita ada di Indonesia.

Indonesia bukan tidak menghargai perbedaan hanya saja, memang itulah kesempurnaan hidup. dimana kita tahu selalu ada hal yang negatif di balik hal positif, selalu ada hal buruk di dalam hal baik. selalu ada resiko di dalam perencanaan. begitu indah Tuhan menciptakan semua ini. tapi tau ga sih, sebenernya dalam perbedaan suku, ada suku lagi di dalamnya. layaknya. seperti agama. di 
Indonesia mungkin kalian pernah mendengar. kata Islam Muhammadiyah, NU, ataupun Persis. sama halnya juga Suku Batak.. dimana ada Suku di dalam Suku . atau di sebut macam - macam suku di dalam Suku batak . dan batak pun dikenal karena orang orang hebat di dalam pemerintahaan. antara lain ada Pengacara ternama dan beberapa Pejabat. yang jika kalian mendengar logatnya. kalian sudah tau dia orang batak hehehe. karena memang keunikan orang indonesia. bisa di denger dari logat cara bicaranya.

Yu Kita Simak. apa aja sih suku yang di maksud ..




1. Batak Toba 


Suku Batak Toba, adalah satu etnik dari sekian banyak rumpun Batak yang terdapat di Sumatra. Wilayah pemukiman suku Batak Toba meliputi kabupaten Toba Samosir yang terdiri dari Balige, Laguboti, Parsoburan dan sekitarnya.

Pada masa dahulu wilayah suku Batak Toba berada di Tapanuli Utara dan Tapanuli Tengah, yang disebut sebagai satu kesatuan etnis saja, yaitu suku Batak Toba. Tetapi karena terdapat perbedaan letak geografis dan pembagian distrik, maka saat ini suku Batak Toba dibagi menjadi beberapa puak Batak, yang disebut sebagai Rumpun Tapanuli yang saling berkerabat dekat secara kultural, yaitu suku Batak Toba, Batak Samosir, Batak Humbang dan Batak Silindung.

Selain beberapa puak tersebut tadi, suku Batak Toba juga masih berkerabat dengan suku Batak Angkola dan Batak Mandailing. Salah satu kedekatan antara beberapa puak di atas adalah dapat dilihat dari mayoritas penduduk asli suku Batak Toba adalah marga-marga Hutabarat, Panggabean, Simorangkir, Hutagalung, Hutapea dan Lumbantobing. Ke 6 marga tersebut adalah keturunan dari Guru Mangaloksa, salah satu anak Raja Hasibuan dari wilayah Toba.

Demikian juga dengan marga Nasution yang banyak tinggal di wilayah Padang Sidempuan adalah saudara kandung marga Siahaan dari Balige, kedua marga ini berasal dari keturunan leluhur yang sama.

Masyarakat suku Batak Toba, pada dasarnya hidup sebagai petani dan sebagai nelayan bagi yang bermukim di pesisir danau Toba. Tetapi saat ini berbagai bidang profesi telah mereka jalani, seperti pedagang, bekerja di sektor swasta maupun di sektor negeri. Tidak sedikit orang Batak Toba yang sukses di perantauan, menjadi pejabat penting di pemerintahan, pengacara maupun sebagai pengusaha sukses.


2. Batak Simalungun


Suku Batak Simalungun, adalah salah satu etnik Batak yang terkonsentrasi di kabupaten Simalungun provinsi Sumatra Utara. Wilayah kediaman suku Batak Simalungun berada di antara 2 etnik batak lainnya, yaitu suku Karo yang berada di kabupaten Tanah Karo dan suku Toba. Bahasa Simalungun sendiri memiliki kemiripan dengan bahasa Karo maupun bahasa Toba.

Sehingga bahasa Simalungun disebut sebagai bahasa batak tengah. Sebagian orang Simalungun saat ini percaya bahwa asal usul orang Simalungun, dikatakan berasal dari India, tepatnya dari daerah Assam, India Selatan, dari suatu tempat yang bernama Asom. Dilihat dari adat istiadat dan tradisi budaya orang Simalungun banyak memiliki kemiripan dengan adat istiadat dan tradisi budaya Batak Karo maupun Batak Toba.

Hal ini mengindikasikan kemungkinan besar suku Simalungun beserta suku Batak Karo dan Batak Toba berasal dari suatu tempat yang sama. Orang Simalungun berbicara dalam bahasa Simalungun sebagai bahasa sehari-hari. Awal masuknya agama Kristen ke wilayah Simalungun di masa lalu, para penginjil RMG menggunakan bahasa Toba untuk menyebarkan agama Kristen pada masyarakat suku Simalungun. Pada umumnya orang Batak Simalungun bisa memahami bahasa Batak Toba, yang menjadi bahasa pengantar pada masa lalu di wilayah sekitar Danau Toba.

 Dalam mitos orang Simalungun, dikatakan bahwa manusia awalnya dikirim oleh oleh Naibata dan dilengkapi dengan Sinumbah yang bisa berdiam dalam berbagai benda, seperti alat-alat dapur dan sebagainya, sehingga benda-benda tersebut harus disembah. Orang Simalungun menyebut roh orang mati sebagai Simagot.

Baik Sinumbah maupun Simagot harus diberikan korban-korban pujaan sehingga mereka akan memperoleh berbagai keuntungan dari kedua sesembahan tersebut. Masyarakat Simalungun adalah patrilineal. Marga diturunkan kepada generasi berikutnya melalui pihak laki-laki. Orang yang memiliki marga yang sama adalah berarti sebagai saudara seketurunan sehingga dipantangkan (tidak diperbolehkan) untuk saling menikah.

Marga-marga pada suku Simalungun terdiri atas 4 marga asli, yaitu: • Damanik • Purba • Saragih • Sinaga Keempat marga di atas berasal dari marga para Raja-Raja di Simalungun. Selain itu ada juga marga-marga yang berasal dari luar Simalungun yang sejak dahulu ikut menetap di wilayah adat Simalungun, kemudian menjadi sub-bagian dari 4 marga di atas.

3. Batak Karo


Karo adalah salah Suku Bangsa yang mendiami Dataran Tinggi Karo, Sumatera Utara, Indonesia. Suku ini merupakan salah satu suku terbesar dalam Sumatera Utara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama Kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yaitu Tanah Karo.

Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Karo atau Cakap Karo. Pakaian adat suku Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh dengan perhiasan emas. Karo dianggap sebagai bagian dari suku kekerabatan Batak, seperti kekerabatan Batak Toba, Batak Mandailing, Batak Simalungun, Batak Pak-Pak atau Dairi, dan Batak Karo.

Namun kebanyakan masyarakat suku Karo menggap bahwa mereka bukanlah bagian dari kekerabatan Batak tersebut, tetapi Karo adalah suku yang berdiri sendiri. Suku Karo juga sering disebut suku Batak Karo. Hal ini dikarenakan banyaknya marga, kekerabatan, kepercayaan, dan geografis domisilinya yang dikelilingi etnis-etnis yang dikatakan Batak.

Orang Karo menyebut dirinya kalak Karo, orang diluar Karo dan tidak mengenal Karo-lah yang kemudian memanggil mereka Batak Karo. Benar tidaknya Karo ini dikatakan Batak, tergantung pada persepsi Batak yang ditawarkan.

Sebab, jika konsep Batak yang ditawarkan adalah Batak yang didasarkan pada hubungan vertikan(geneologi/keturunan darah) seperti yang berlaku di Toba-Batak, bahwa Si Raja Batak adalah nenek moyang bangsa Batak, maka Karo bukanlah Batak! Hal ini dikarenakan eksistensi Karo yang teridentifikasi lebih awal dibandingkan kemunculan Si Raja Batak ini( Karo jauh sudah ada sebelum kemunculan Si Raja Batak diabad ke-13 Masehi) yang didasarkan pada fakta sejarah, logika, dan tradisi di Karo dan suku-suku lainnya yang dikatakan Batak.

Namun, jika batak yang didasarkan pada kekerabatan horizontal (solidaritas, teritorial, dan geografis) maka Karo adalah bagian dari Batak.

4. Batak Pakpak


Suku Batak Pakpak, adalah suatu kelompok masyarakat yang terdapat di beberapa kabupaten di provinsi Sumatra Utara dan di sebagian wilayah provinsi Nanggroe Aceh. Orang Batak Pakpak, berbicara dalam bahasa sendiri, yaitu bahasa Pakpak. Sedangkan di Kelasen bahasa Pakpak disebut sebagai bahasa Dairi.

Bahasa Pakpak ini merupakan cabang dari rumpun bahasa Austronesia, yang termasuk dari salah satu cabang dari rumpun bahasa Batak. Bahasa Batak Pakpak memiliki kekerabatan dengan bahasa Batak Karo, tapi bahasa Pakpak juga banyak mirip dengan bahasa Batak Toba. Pemakai bahasa Pakpak sendiri mengalami penurunan diakibatkan banyaknya arus pendatang di luar suku Pakpak yang memasuki wilayah mereka.

Para generasi muda semakin enggan menggunakan bahasa Pakpak dalam pergaulan sehari-hari. Perkimpoian dengan suku di luar suku Pakpak, serta pengaruh bahasa-bahasa dari para pendatang turut mempengaruhi kelestarian bahasa Pakpak. Sepertinya hal ini perlu mengalami perubahan yang berarti agar bahasa Pakpak tidak hilang di daerahnya sendiri.

Dalam bahasa Batak Pakpak ada suatu ucapan khas, yaitu "Njuah-Njuah", yang berarti "semoga sehat selalu". Marga-marga Pakpak, secara keseluruhan: Anak Ampun, Angkat, Bako, Bancin, Banurea, Berampu, Berasa, Berutu, Bintang, Boang Manalu, Capah Cehun, Cibro, Cibero Penarik, Gajah, Gajah Manik, Goci, Kaloko, Kabeaken, Kesogihen, Kombih, Kudadiri, Kulelo, Lembeng, Lingga, Maha, Maharaja, Manik, Manik Sikettaang, Manjerang, Matanari, Meka, Mucut, Mungkur, Munte, Padang, Padang Batanghari, Pasi, Pinayungen, Simbacang, Simbello, Simeratah, Sinamo, Sirimo Keling, Solin, Sitakar, Sagala, Sambo, Saraan, Sidabang, Sikettang, Simaibang, Tendang, Tinambunan, Tinendung, Tinjoan, Tumangger, Turuten, Ujung.


5. Batak Mandailing/angkola


Suku Batak Mandailing/angkola adalah salah satu suku dari sekian banyak Rumpun Batak yang telah lama hidup dalam suatu komunitas di kabupaten Mandailing-Natal, penyebaran juga terdapat di kabupaten Padang Lawas, kabupaten Padang Lawas Utara, dan sebagian kabupaten Tapanuli Selatan yang berada di provinsi Sumatera Utara.

Orang Mandailing/angkola juga menyebar hingga ke wilayah provinsi Sumatra Barat, seperti di kabupaten Pasaman dan kabupaten Pasaman Barat. Suku Mandailing/angkola memiliki adat, budaya dan bahasa sendiri. Mereka berbicara dalam bahasa Mandailing/angkola. Bahasa Mandailing/angkola sendiri sangat berkerabat dengan bahasa Batak Toba.

Dilihat dari tradisi budaya, adat dan bahasa terdapat keterkaitan erat di masa lalu antara suku Batak Mandailing/Angkola dengan suku Batak Toba dan Padang Lawas. Selain itu mereka juga diperkirakan masih terkait hubungan di masa lalu dengan suku Batak Rokan dan suku Rao. Suku Mandailing/Angkola ini berada di antara beberapa kebudayaan besar, yaitu budaya Batak Toba dan budaya Minangkabau.

Pada suatu sisi suku Mandailing/Angkola sebagai bagian dari rumpun Batak, tapi keberadaan mereka sempat diklaim berasal dari Minangkabau. Apabila dilihat dari struktur fisik, budaya, tradisi, adat-istiadat serta bahasa pada masyarakat suku Mandailing/Angkola, bahwa suku Mandailing/Angkola ini lebih berkerabat dengan suku Batak Toba, dibanding dengan suku Minangkabau. Selain itu marga-marga yang ada pada suku Mandailing/Angkola juga banyak yang sama dengan marga-marga pada suku Batak Toba.

Sedangkan dengan suku Minangkabau, sangat berbeda dari struktur fisik, budaya, tradisi, adat-istiadat serta bahasa pada masyarakat suku Mandailing/Angkola sangatlah berbeda. Hanya karena pada suku Minangkabau terdapat salah satu suku/marga Mandaihiliang, oleh karena itu suku Minangkabau mengklaim bahwa Mandailing/Angkola berasal dari salah satu marga/suku dari suku Minangkabau tersebut.

Suku Mandailing/Angkola sendiri menganut paham kekerabatan patrilineal, tapi akhir-akhir ini ada yang menerapkan sistem matrilineal. Di Mandailing terdapat marga-marga, seperti: Lubis, Nasution, Harahap, Pulungan, Batubara, Parinduri, Lintang, Hasibuan, Rambe, Dalimunthe, Rangkuti, Tanjung, Mardia, Daulay, Matondang, Hutasuhut dan lain-lain.

Marga-marga yang terdapat di Tanah Mandailing Godang, banyak memiliki pertalian dengan marga-marga dari Batak Utara (Batak Toba). Tapi karena telah terpisah sejak berabad-abad, dan banyak terjadi missing link, maka marga-marga Mandailing/Angkola saat ini telah berkembang menjadi beberapa aliran marga tersendiri. (lihat marga Mandailing) Penduduk suku Batak

Mandailing/Angkola mayoritas adalah beragama Islam. Berbeda dengan orang Batak Toba yang beragama Kristen. Tapi kedua suku bangsa ini berawal dari sejarah asal usul yang sama. Banyak persamaan dalam kebiasaan orang Batak Mandailing/Angkola dengan kebiasaan orang Batak Utara (Toba).


Oke gan itulah sebagian Suku Batak, sebenarnya masih banyak. cuma kalau di tulisin ga muat ntar hehe. dan itulah Macam - Macam Etnis Dalam Suku Batak (Sama Batak, tapi Beda Etnis4)
Source : http://ini-macan.blogspot.co.id/2015/08/macam-macam-etnis-dalam-suku-batak-sama.html

Warga Karo di Perantauan Inginkan Pilkada Karo Bersih 2015


Warga Karo di Perantauan Inginkan Pilkada Karo Bersih 2015


Mayoritas warga karo diperantauan saat ini merasa sedih dan berharap pilkada karo 2015 ini berjalan bersih agar kabupaten karo mampu keluar dari segala keterpurukannya saat ini. Hal itu terlihat jelas saat Jemari News.Co berkeliling ke beberapa tempat di kota Jakarta dan Tangerang.
Di Pasar Induk Tanah Tinggi sepasang pengusaha warung nasi menyatakan keprihatinannya atas kondisi kabupaten karo saat ini. Pak Perangin-angin dan istrinya ibu beru Sebayang itu juga menuturkan bahwa mereka merasa malu melihat situasi tanah karo saat ini sehingga mereka berharap pilkada karo nanti akan berlangsung bersih dan berhasil memenangkan rakyat karo. 
"Tanah karo dulu terkenal dengan semangat gotong-royongnya, kini hal itu semakin memudar sehingga mempengaruhi berbagai bidang kehidupan. Individualisme membawa kabupaten karo menjadi semakin mundur, apalagi ditambah gunung Sinabung terus erupsi sampai saat ini. Kita harap Pilkada karo kali ini berjalan bersih dan bermartabat agar siapapun yang terpilih jadi bupati nantinya bekerja serius dan berprestasi," terang pak Perangin-angin pada Jemari News.Co pada kamis 8/10/2015 di warung nasinya.
Tapi tak sedikit juga warga asal karo yang pesimis terhadap masa depan daerahnya itu. Mereka pesimis karena tidak melihat satu pun figur calon bupati saat ini yang sesuai harapannya. Namun demikian mereka juga berharap agar keterpurukan kab. karo saat ini membuat rakyatnya menjadi semakin kritis dalam menentukan pilihannya nanti. 
 Source : http://jemarinews.co/berita-warga-karo-di-perantauan-inginkan-pilkada-karo-bersih-2015.html

5 Tipe Orang Karo di Perantauan

5 Tipe Orang Karo di Perantauan
5 Tipe Orang Karo di Perantauan

Orang Karo biasanya menghabiskan masa mudanya di tanah perantauan. Ada dua alasan mengapa anak muda Karo merantau yaitu melanjutkan pendidikan maupun bekerja. Tujuan perantauan orang Karo utamanya adalah Pulau Jawa. Namun tak sedikit pula yang merantau ke daerah lainnya seperti Kalimantan, Sulawesi maupun Papua. Bahkan perantau asal Karo juga banyak yang eksis di luar negeri. 

Meski merasa nyaman di perantauan, rasa kangen terhadap keluarga, teman, dan tanah kelahiran tentunya kadang tidak bisa dihindari. Sesuai dengan namanya, Tanah Karo Simalem, selalu mengundang kerinduan bagi warganya yang ada di perantauan. Jika diamati, perantau Karo ini umumnya pulang kampung dalam periode tertentu yakni setahun sekali. Namun ada pula yang pulang kampung lebih dari sekali atau malah tidak pernah pulang dalam kurun waktu yang cukup lama. Berikut ini pengelompokan perantau Karo jika dilihat dari momentum pulang kampungnya: 

1. Religius Perantau religius ini biasanya pulang kampung untuk merayakan hari besar keagamaan seperti Natal dan Lebaran bersama keluarga. Perantau tipikal yang satu ini memang paling banyak. Jadi jangan heran ketika perayaan hari besar keagamaan, khususnya Natal, kampung-kampung di Tanah Karo dipenuhi para perantau.

 2. Oportunis Tipe perantau oportunis ini biasanya pulang kampung menjelang pesta tahunan (kerja tahun). Kenapa dibilang oportunis? Perantau yang pulang saat pesta tahunan tujuannya tak jauh dari perburuan kuliner yang serba enak. Syukur-syukur saat ke jambur menyaksikan gendang guro-guro aron bisa dapat gebetan. Oportunis baget kan?

 3. Melankolis Perantau melankolis ini meski sudah pulang saat hari besar keagamaan, tetap nekat juga pulang kampung saat kerja tahun. Kalau tipikal yang satu ini sudah jelas, bukan sekadar ingin merayakan Natal atau menikmati hidangan pesta tahunan, melainkan karena selalu kangen sama orangtua. 

4. Patriotis Seusai dengan namanya, perantau Karo yang satu ini biasanya pulang menjelang HUT kemerdekaan Indonesia. Kepulangan para perantau ini ke tanah kelahiran tak lain untuk menyaksikan pawai 17 Agustus di Kabanjahe. Masuk akal juga sih, HUT RI di Kabanjahe memang selalu meriah dan berbeda dengan kota-kota lainnya. 4. Idealis Perantau idealis ini biasanya memegang teguh semboyan pemburu Karo yakni "Mela mulih adi la rulih" (Malu pulang sebelum berhasil). Adakalanya sukses di perantauan belum berhasil diraih sehingga perantau idealis ini jadi enggan untuk pulang kampung. Ini hanyalah analisis pandangan mata saja dan tak perlu ditanggapi terlalu serius. Kira-kira Anda termasuk tipe perantau yang mana ya? Mari sharing dan mention ke @karo_news

http://www.kompasiana.com/karonews/5-tipe-orang-karo-di-perantauan_551b37f8a33311a621b65cf3

Saturday, April 4, 2015

mengenal kebudayaan suku batak karo

Eksistensi Kerajaan Haru-Karo

Kerajaan Haru-Karo (Kerajaan Aru) mulai menjadikerajaan besar di Sumatera, namun tidak diketahui secara pasti kapan berdirinya. Namun demikian, Brahma Putra, dalam bukunya "Karo dari Zaman ke Zaman" mengatakan bahwa pada abad 1 Masehi sudah ada kerajaan di Sumatera Utara yang rajanya bernama "Pa Lagan". Menilik dari nama itu merupakan bahasa yang berasal dari suku Karo. Mungkinkah pada masa itu kerajaan haru sudah ada?, hal ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.(Darman Prinst, SH :2004)
Kerajaan Haru-Karo diketahui tumbuh dan berkembang bersamaan waktunya dengan kerajaan Majapahit,SriwijayaJohorMalaka dan Aceh. Terbukti karena kerajaan Haru pernah berperang dengan kerajaan-kerajaan tersebut.
Kerajaan Haru pada masa keemasannya, pengaruhnya tersebar mulai dari Aceh Besar hingga ke sungai Siak di Riau.

Terdapat suku Karo di Aceh Besar yang dalam logat Aceh disebut Karee. Keberadaan suku Haru-Karo di Aceh ini diakui oleh H. Muhammad Said dalam bukunya "Aceh Sepanjang Abad", (1981). Ia menekankan bahwa penduduk asli Aceh Besar adalah keturunan mirip Batak. Namun tidak dijelaskan keturunan dari batak mana penduduk asli tersebut. Sementara itu, H. M. Zainuddin dalam bukunya "Tarikh Aceh dan Nusantara" (1961) dikatakan bahwa di lembah Aceh Besar disamping Kerajaan Islam ada kerajaan Karo. Selanjunya disebutkan bahwa penduduk asli atau bumi putera dari Ke-20 Mukim bercampur dengan suku Karo yang dalam bahasa Aceh disebut Karee. Brahma Putra, dalam bukunya "Karo Sepanjang Zaman" mengatakan bahwa raja terakhir suku Karo di Aceh Besar adalahManang Ginting Suka.
Kelompok karo di Aceh kemudian berubah nama menjadi "Kaum Lhee Reutoih" atau kaum tiga ratus. Penamaan demikian terkait dengan peristiwa perselisihan antara suku Karo dengan suku Hindu di sana yang disepakati diselesaikan dengan perang tanding. Sebanyak tiga ratus (300) orang suku Karo akan berkelahi dengan empat ratus (400) orang suku Hindu di suatu lapangan terbuka. Perang tanding ini dapat didamaikan dan sejak saat itu suku Karo disebut sebagai kaum tiga ratus dan kaum Hindu disebut kaum empat ratus.

Kabupaten Tanah Karo


Tanah Karo terletak di kaki Gunung Sinabung (foto diambil sekitar tahun 1917).
    Suku Karo memiliki sistem kemasyarakatan atauadat yang dikenal dengan nama merga silimatutur siwaluh, dan rakut sitelu. Masyarakat Karo mempunyai sistem marga (klan). Marga atau dalam bahasa Karo disebut merga tersebut disebut untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan yang disebut beruMergaatau beru ini disandang di belakang nama seseorang.Merga dalam masyarakat Karo terdiri dari lima kelompok, yang disebut dengan merga silima, yang berarti marga yang lima. Kelima merga tersebut adalah:
  1. Karo-karo
  2. Tarigan
  3. Ginting
  4. Sembiring
  5. Perangin-angin

Tari tradisional

Suku Karo mempunyai beberapa tari tradisional, di antaranya:

 Kegiatan Budaya

  • Merdang merdem = "kerja tahun" yang disertai "Gendang guro-guro aron".
  • Mahpah = "kerja tahun" yang disertai "Gendang guro-guro aron".
  • Mengket Rumah Mbaru - Pesta memasuki rumah (adat - ibadat) baru.
  • Mbesur-mbesuri - "Ngerires" - membuat lemang waktu padi mulai bunting.
  • Ndilo Udan - memanggil hujan.
  • Rebu-rebu - mirip pesta "kerja tahun".
  • Ngumbung - hari jeda "aron" (kumpulan pekerja di desa).
  • Erpangir Ku Lau - penyucian diri (untuk membuang sial).
  • Raleng Tendi - "Ngicik Tendi" = memanggil jiwa setelah seseorang kurang tenang karena terkejut secara suatu kejadian yang tidak disangka-sangka.
  • Motong Rambai - Pesta kecil keluarga - handai taulan untuk memanggkas habis rambut bayi (balita) yang terjalin dan tidak rapi.
  • Ngaloken Cincin Upah Tendi - Upacara keluarga pemberian cincin permintaan dari keponakan (dari Mama ke Bere-bere atau dari Bibi ke Permain).
  • Ngaloken Rawit - Upacara keluarga pemberian pisau (tumbuk lada) atau belati atau celurit kecil yang berupa permintaan dari keponakan (dari Mama ke Bere-bere) - keponakan laki-laki.
 SUMBER : Google

Recent Post